Minggu, 17 Juli 2016

Reinvent Myself Endlessly

Greeting from Lebakherang!

Lebakherang?

Saya juga baru-baru ini dengarnya. Kebetulan kampus ‘memaksa’ seluruh mahasiswa semester akhir untuk KKN. Area persebarannya mulai dari yang kota banget-pinggir jalan raya depan Superindo, sampai yang pelosok nun jauh di merauke sana. Yang pake pesawat komersil, hercules, kapal feri, sampan, kereta, bis, sampai yang tinggal lompat aja karena kebetulan dekat rumah. Izin dari orangtua sih ke mana aja. Toh ini acara kampus rame-rame bukan ngebolang sendirian. Tapi akhirnya kami sepakat bahwa nggak jauh-jauh banget dan nggak dekat-dekat banget. Nyemplunglah saya di sini. Lebakherang bukanlah desa yang eksotis seperti kebanyakan daerah timur sana dengan pantai yang indah. Letaknya di ujung Kabupaten Kuningan. Belakang desa ini hutan, yang konon kata Pak Camat berbatasan dengan Cilacap. Salah satu permasalahan petani di sini adalah babi hutan dan monyet ekor panjang yang konon jika menyerang, menghabisi tanaman kacang dan padi milik mereka. Sulit dipercaya mulanya karena jalan ke desa ini meski meliuk-liuk, terjal, dan berbatu, setidaknya bukan tanah liat seolah jalan mau ke hutan. Masyarakatnya juga terlihat cukup terterpa modernisasi. Tapi memang nyatanya di belakang pondokan kami hanya ada tiga rumah, lalu hutan. Hahaha. Nggak semenyeramkan itu kok. Dengan kontur yang agak berbukit, dan kultur masyarakat Jawa Barat yang rumahnya menggerombol, tetangga kanan kiri depan sangat dekat jadi nggak berasa sendirian. Hal ini yang nggak ditemukan di Jogja yang kebanyakan halaman rumahnya luas-luas sehingga ada sedikit jarak dengan tetangga. Jalan antar rumah di sini seperti gang-gang di kota, hanya muat satu motor. Kecuali jalan raya desa di bawah yang bisa dilewati mobil. Rumah-rumah padat ini membuat suasana hangat karena banyak orang lewat dan apa-apa dekat sama tetangga. Tiap lewat rumah orang, jika kebetulan sedang di depan rumah, umumnya menyeru mampir neng! Kami pun selalu punten jika melewati rumah orang karena jarak yang sangat dekat antara jalan dan rumah. Alhamdulillah meski seret, dan hanya ada 1 provider, internet bisa diakses dari sini. Desa ini nggak seperti desa di perbatasan Malaysia sana yang sinyal telpon dan SMSnya bahkan dibagi hanya untuk 70 pengguna. Jadi telponnya gantian. Saya kemarin telpon teman, sekali putus susah nyambung lagi karena keburu dipakai yang lain. Udah mirip saluran kuis sahur di televisi.

Oke lupakan demo-demoan, yang jelas dengan wajibnya program KKN, banyak motivasi untuk lebih dari sekedar melunasi SKS wajib ini. Bagi sebagian orang KKN adalah pengharapan. Harapan mendapat pengalaman baru, teman baru, kecengan baru *eh*, harapan bisa istirihat dari rutinitas dan ketika kembali siap menyusun skripsi, main ke lokasi eksotis yang itungannya murah banget daripada jalan sendirian, harapan 50 hari ini cepat berakhir atau malah harapan agar waktu melambat karena tahu begitu di Jogja semua pasti kembali ke rutinitas dan kesibukan masing-masing .

Buat saya KKN adalah sebuah naikan-turunan di jalan hidup perkampusan saya yang cenderung lurus-lurus aja. Naikan-turunan berarti ada senang-senang dan nggak enaknya. Fasilitas terbatas, terjun bebas di masyarakat, banyak orang setiap saat (introvert problem). Naikan turunan ini buat saya tantangan. 50 hari ini waktu yang baik untuk terus belajar hal baru. Mungkin masyarakat tempat saya KKN sudah cukup terterpa modernisasi, tidak sesederhana masyarakat di perbatasan, tetapi pola pikirnya merupakan tantangan karena hobi banget buang sampah di pinggir sungai. Sederhana di mata mereka, karena desa mereka di hulu sungai dekat hutan, ketika hujan seluruh sampah akan tersapu habis. Hiks. Sedih ya. Tapi bukan berarti nggak ada hal yang bisa dijadikan pelajaran dari desa berdusun tiga ini.

Saya cukup mengapresiasi diri sendiri karena mengambil keputusan menceburkan diri di tim yang anggotanya baru saya kenal semuanya. Keluar dari zona nyaman banget. Teman-teman yang baru saya kenal jelas membuat saya terus belajar setiap hari. Gimana yang sangat luwes bergaul, yang sabar, yang usil, yang koplak, yang solutif, ada aja yang bisa saya ambil dari kelakuan sehari-hari di pondokan KKN. Saya nggak bisa maksain jadi sabar, jadi sociable, dst dst, tapi kelakuan mereka yang setiap hari saya perhatikan, ada aja yang bisa dipelajari. Yang koplak sinting gila miring membuat saya sadar kadang terlalu serius dalam suatu waktu yang harusnya nggak usah serius amat, ketawa ngakak di tengah keadaan yang asing membuat saya merasa di rumah setiap kali pulang ke pondokan. Saya belajar bagaimana basa-basi  dari mereka yang extrovertnessnya tumpeh tumpeh. Small talk yang susah payah buat saya itu ternyata membantu juga untuk beradaptasi dengan warga. Dari mereka yang solutif di rapat, mengingatkan saya bahwa sebuah masalah seperti bungkus rokok yang dulu dibolak balik Prof. Faruk di depan kelas, punya banyak sisi. Dari mereka juga ada banyak pertanyaan tentang editing dan EYD yang kadang saya lupa lagi.

Ya, buat saya KKN itu belajar. Belajar hal baru. Memperbaharui diri sendiri setiap hari. Judul di atas merupakan pencerahan setelah saya jadi 21 beberapa hari yang lalu. Nonton beberapa TEDTalk plus doa Ayah di lebaran kali ini nambah satu, saat sungkem via telpon, membuat saya melek. Sebentar lagi lulus (amiin), waktu dengan orangtua nggak akan lama lagi, sayang kalo cengo setiap hari. Keluar dari zona nyaman bikin saya sadar bahwa belajar bisa di manapun bisa kapanpun sama siapapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar