Sabtu, 29 Oktober 2016

Catatan Seorang Gadis Setelah Membaca Lean In

Baik
Baik
Baiklah
Banyak sekali yang ingin saya tulis.
Pertama saya ingin membuka dengan : buku ini bukan hanya tentang perempuan, buku ini harus dibaca laki-laki juga. Buku ini bukan berisi debat Work At Home Mom (WOAHM), atay Stay At Home Mom (SAHM) atau Wanita Karir yang bekerja di Kantor. Buku ini merupakan usaha membangun dunia yang lebih setara, dari sudut pandang seorang wanita.  Juga, tulisan ini bukan sebuah resensi, namun catatan setelah membaca buku ini.

Whatever this book is, I am writing it for any woman who wants to increase her chances of making it to the top of her field or pursue any goal vigorously. This includes women at all stages of their lives and careers, from those who are just starting out to those who are taking a break and may want to jump back in. I am also writing this for any man who wants to understand what a woman—a colleague, wife, mother, or daughter—is up against so that he can do his part to build an equal world.
This book makes the case for leaning in, for being ambitious in any pursuit. And while I believe that increasing the number of women in positions of power is a necessary element of true equality, I do not believe that there is one definition of success or happiness. Not all women want careers. Not all women want children. Not all women want both. I would never advocate that we should all have the same objectives. Many people are not interested in acquiring power, not because they lack ambition, but because they are living their lives as they desire. Some of the most important contributions to our world are made by caring for one person at a time. We each have to chart our own unique course and define which goals fit our lives, values, and dreams.

Buku ini bukan hanya tentang bekerja di kantor, tapi karir secara umum. Meramu karir, keluarga, dan kehidupan wanita itu sendiri. Hanya saja karena isi buku ini menceritakan kasus-kasus yang dialaminya sendiri, buku ini banyak bercerita mengenai wanita di kantor, namun jika ditarik kesimpulan secara umum pada setiap bab akan terasa universal. 

Saya merasa tinggal di era yang aneh. Civil war antar wanita bahkan dijadikan topik pembahasan yang menarik secara kebahasaan (kata dosen saya yang baru mengikuti Seminar Masyarakat Linguistik Indonesia). Dulu, nenek saya langsung berhenti menjadi guru ketika mempunyai anak. Sedangkan Ibu saya, bekerja di kantor sebagai dosen dengan jadwal yang tidak fleksibel. Saya mungkin menghabiskan setengah masa balita dengan merengek dan menangis di pagi hari karena manja tidak ingin Ibu saya pergi (dan saya merasa bersalah sekarang, hal itu pasti sama sekali tidak menyenangkan juga  untuk Ibu saya, tapi apa sih yang dipikirkan seorang anak usia 3 tahun?). Hampir semua wanita di keluarga saya, bibi-bibi, bude-bude saya, aktif bekerja di luar rumah. Hanya satu atau dua yang bekerja dari rumah.

Di luar keluarga inti saya yang menurut saya cukup demokatis, saya dapat membayangkan, jika saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga pasti akan mendapat tentangan dari orang-orang; ngapain sekolah tinggi-tinggi sih? Bahkan ketika saya menyinggung untuk bekerja dari rumah, bukan di kantor, alias freelance atau mungkin bisnis, reaksi generasi X yang berpuluh tahun di atas saya pasti menolak ide itu. Kan gajinya nggak tetap, kamu nggak settle. Saya bisa membayangkan sih, mereka telah berjuang keras untuk bisa sekolah, dan mereka membayar kembali dengan membuktikan kesuksesan pada orang-orang di sekitar mereka. Masalahnya, kadang kesuksesan bukan diukur dari hati atau goal pribadi mereka, namun standar yang ditetapkan lingkungan (society) baik itu lingkungan kerja maupun lingkungan di sekitar rumah.

Di sisi lain, saat ini wanita masih cukup susah untuk merangkak ke posisi-posisi puncak di lingkungan kerja mereka. Kalau ada wanita sukses, selain pujian juga banyak cemoohan yang mempertanyakan bagaimana tanggung jawab wanita itu terhadap keluarganya. Sedangkan saat seorang pria sukses, tidak ada yang menanyakan, gimana ya keluarganya di rumah?
Seringkali wanita dituding ambi, nggak family oriented, atau lainnya. Mereka secara sosial dipaksa untuk berada di standar itu-itu aja, karena punya tanggung jawab lain mengasuh anak. Wah padahal mengasuh anak itu tanggung jawab orang tua bukan hanya wanita (oke berhenti, ini panjang kalau diteruskan).

Jadi gimana sih, people? Di sisi lain mencela wanita karir, terus kenapa nggak sekalian aja nyuruh wanita tinggal di rumah? Di sisi lain juga mencela wanita yang bekerja atau stay di rumah dengan gaji yang nggak settle, hanya bisa bergantung pada orang lain, dsb-dsb-dsb. Secara nggak langsung wanita jadi nggak bisa all out dalam berkarir, baik itu di rumah atau di tempat kerja, kalau terus-terusan dengar apa kata orang. Sayangnya kebanyakan wanita menderita sendiri karena mendengarkan orang lain dan bukannya mencari formula yang tepat untuk dirinya.

Inilah yang dibahas Sheryl Sandberg, wanita bisa sukses di karir, keluarga, dan kehidupannya sendiri. Hari gini, Sheryl Sandberg menekankan bahwa setiap orang mempunyai kehidupannya masing-masing, punya formulanya masing-masing, bukan lagi ditentukan oleh sosial.

Kuncinya adalah conciousness.

Banyak sekali keputusan yang diambil bukan karena kesadaran, namun tekanan sosial dan orang lain. Bukan berdasarkan apa yang dialami dan dirasakan, atau bahkan bukan berdasarkan nilai yang dianut oleh si pembuat keputusan.


Dalam bab Don’t Leave Before You Leave Sheryl mencubit wanita-wanita muda yang mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi dan memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan karir mereka didasarkan kekhawatiran. Misalnya seorang wanita muda yang tidak mengambil pekerjaan atau pendidikan tinggi-tinggi karena takut ga dapet jodoh (kasus yang sering di sekitar kita), atau tidak mengambil suatu pekerjaan karena takut tidak mampu apabila nanti dia hamil (padahal saat itu dia belum hamil).

Anyone lucky enough to have options should keep them open. Don’t enter the workforce already looking for the exit. Don’t put on the brakes. Accelerate. Keep a foot on the gas pedal until a decision must be made. That’s the only way to ensure that when that day comes, there will be a real decision to make.

Putuskan semua pada waktunya. Bukan berdasarkan fakta yang belum terjadi, kurang lebih begitu pesannya. Meski menodorong wanita untuk mengambil posisi dalam karir, ada kalanya Sheryl menolak pekerjaan karena mempertimbangkan keluarga, diceritakan dalam buku ini karena ingin punya anak kedua saat berusia 37 tahun. Namun di masa lain, Ia akan mengambil suatu pekerjaan karena keadaannya memungkinkan : suaminya bisa mengatur jadwal yang memungkinkan mereka gantian mengasuh anak, dan komunikasi dengan partnernya membuatnya yakin keluarga mereka bisa melewatinya. So sweet


Sheryl menenkankan pentingnya partner hidup yang bisa saling mendukung baik dalam karir atau keluarga. Bukan berarti wanita (bahkan manusia pada umumnya sebenarnya) harus melakukan semuanya sendiri. Ia dan suaminya Dave, saling berbagi tugas. Meski dalam keluarga mereka pembagian itu cenderung tradisional, itu karena mereka memang melakukan apa yang mereka suka dan bisa. Bukan sekadar kesetaraan ngawur  tanpa memperhatikan kelemahan dan kelebihan masing-masing. Bahkan menurutnya, untuk ibu rumah tangga sekalipun pekerjaannya sudah berat  seharian mengurus rumah dan anak dsb, kadang tidak mendapatkan tidur siang, selayaknya tetap ada pembagian tugas dalam sebuah rumah untuk kehidupan kedua belah pihak yang lebih seimbang.

Berkaca pada pembagian tugas di rumah saya yang juga didesain cukup tradisional oleh Ibu saya, namun saya yakin beliau mendelegasikan tugas-tugas ini sesuai dengan kemampuan dan hobi masing-masing anggota keluarga. Kasusnya, ketika liburan dan semua berkumpul, pagi-pagi saya membantu Ibu memasak, karena memang bisanya itu, adek saya beres-beres rumah karena dia nggak suka masak. Kakak saya yang kedua pagi-pagi biasanya tidur, tapi agak siangan dia langsung bangun ketika disuruh antar Ibu ke kantor, atau nanti ketika disuruh beli ini itu, dan semua urusan bebenah rumah ada pada dia. Ayah kelihatannya pagi-pagi memang baca koran, beliau agak kurrang fleksibel kalau diminta bantu-bantu urusan domestik karena you know lah keluarga zaman dulu mana ada menugaskan anak laki-laki dengan pekerjaan domestik.  Namun semua urusan kebun beliau yang handle, beliau juga yang sampai detik ini mengantar Ibu ke mana-mana bukannya memaksa Ibu untuk belajar motor atau mobil. Mungkin tidak sempurna, namun lebih baik daripada semua tugas dikerjakan ART atau hanya Ibu saja. Pada akhirnya, Ibu cukup bangga ketika melihat kakak pertama yang sudah berkeluarga membantu istrinya nyuci piring dan jemur baju.

Kadang kala kita memang harus memilih. Pilihan-pilihan yang sulit apabila didasarkan pada prinsip semua harus senang. Itu kira-kira yang dituliskan dalam bab 9 The Myth of Doing It All. Mungkin saya nangis setiap pagi di setengah kehidupan balita saya, karena ditinggal Ibu ke kantor. Mungkin saya dan adik saya sebal ketika Ibu pulang malam terus beberapa saat yang lalu pada masa menjabat di fakultas, dan gara-gara itu saya kebagian tugas memasak makan malam hampir setiap hari ketika saya SMA. Tapi saya sadar bahwa ini adalah pembelajaran bersama untuk seluruh anggota keluarga. Kami jadi belajar ini dan itu, kami jadi belajar saling memahami dan menghargai. Meski kami juga melewati konflik yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan setelah move on melewati hal itu, kami belajar tidak iri pada keluarga lain karena kita semua punya kehidupan yang berbeda. Bahkan untuk siapa pun, nggak ada semua senang terus-terusan pagi siang malam, semuanya berputar. Saya juga belajar yang paling penting dari memilih sebuah pilihan adalah tanggung jawab setelahnya, bagaimana kreatif melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan hidup kita untuk melewatinya. Karena sukses membutuhkan kerja keras dari diri sendiri, bantuan dari orang lain, dan memutuskan hal pada saat yang tepat.

Perempuan itu spesial, kita punya cara sendiri untuk sebuah kesuksesasan (yang ditentukan oleh diri sendiri). Sekarang, sebagai anak perempuan, yang akan jadi orangtua juga,  saya akan membuat formula, dengan jatuh bangun, trial and error untuk kehidupan saya sendiri. Kehidupan saya akan berbeda dengan mamah-mamah idola saya :  Ibu,  Peni WulandariDiana Rikasari, Alodita, atau Fifi Alvianto. Saya tidak boleh takut tantangan, saya harus berani untuk loncat sana-sini dulu demi menemukan formula yang tepat  (baca bab It's A Jungle Gym, Not a Ladder). Saya harus siap dan fleksibel dengan masa yang terus berubah (Baca formula long-term dream and eighteen months plan)Saya mulai belajar memutuskan berdasarkan data, fakta, dan kata hati (bukan emosi), juga bukan kata orang. 


Tulisan ini juga diikutkan pada Blog Post Competition oleh Mbak idola Primaditarahma . 

Semoga kamu-kamu-kamu setelah baca buku ini mendapat pencerahan juga

XX

Anisah

2 komentar:

  1. belum baca sampai selesai nih bukunya..huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus banget baca sampai selesai, semangaat~~ salam kenal yah :)

      Hapus